Blogger templates

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

Sabtu, 30 Mei 2015

Ketidakadilan: Sisi Lain Negara Hukum


Dengan sadar saya menyebut ketidakadilan sebagai sisi lain atau fakta yang akan selalu ada dalam sebuah negara hukum, sekalipun negara tersebut (misalnya Indonesia) menganggap hukum sebagai penjamin penegakan/pencapaian keadilan. Tentu saja, saya tak bermaksud menegasi nilai-nilai positif dari sebuah negara hukum atau negara yang menganut hukum positif. Saya hanya bermaksud mengajak kita untuk sedikit menyadari sisi lain yang acapkali menghantui proses penegakan keadilan dalam sebuah negara hukum.
Pada dasarnya, hukum bertujuan mencapai keadilan. Negara yang menganut hukum positif menyerahkan tanggung jawab pencapaian keadilan itu pada undang-undang, norma-norma hukum. Hukum positif dianggap sebagai penjamin keadilan. Karena itu pula, vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap setiap perkara tergantung pada pertimbangan fakta-fakta hukum. Fakta-fakta hukum menjadi kekuatan untuk menentukan, mana yang adil dan mana yang tidak adil.
Cita-cita menetapkan keadilah berdasarkan hukum postif ada untungnya, tapi juga ada ruginya. Keuntungannya, kita memiliki kepastian hukum. Ada patokan-patokan yang menjadi pegangan bagi seorang hakim untuk memutuskan sebuah perkara. Namun, ruginya, hukum positif juga mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap tak masuk dalam kategori bukti-bukti hukum.
Banyak kasus di negara kita tercinta, INDONESIA, yang memperlihatkan hal ini. Bahwa hukum yang seharusnya menjamin keadilan, ternyata dirasa tidak mendukung penegakkan keadilan itu. Inilah kiranya tantangan sebuah negara hukum.
Contoh: Kasus AAL dan “Xenia Maut”
Saya mengambil dua contoh kasus, sebagai “jalan masuk” menuju inti persoalan. Kita tentu masih ingat kasus pencurian sandal jepit dengan pelaku AAL, seorang siswa SMK yang kemudian diadili di PN Palu, Sulawesi Tengah. Prosesnya berlarut-larut sehingga menyita perhatian media nasional dan internasional.
Dalam kasus ini, publik berharap, masalahnya bisa diselesaikan dengan cepat, karena toh kasusnya bisa dibilang kasus kecil. AAL dilaporkan oleh seorang polisi karena mencuri sandal bekas seharga Rp. 35.000 milik polisi bersangkutan. Namun, karena dibawa ke meja hijau, maka proses hukumnya jadi rumit.
Kasus lain, memori kita juga masih akrab dengan peristiwa “Xenia Maut” Minggu, 22/1 siang di Tugu Tani, Jakarta, ketika Afriyani cs, pengemudi mobil Daihatsu Xenia menabrak 9 orang warga hingga tewas.
Semua orang marah, apalagi keluarga korban kepada pelaku tabrakan itu. Tambah lagi, Afriyani cs tampaknya tak memperlihatkan penyesalan. Hampir semua masyarakat menghendaki hukuman yang berat, apalagi kita ketahui Afriyani cs adalah pemakai obat terlarang.
Apa yang kemudian terjadi? Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri menonton acara di TVOne yang membahas tragedi “Xenia Maut” ini. Sejauh yang saya dengar dari seorang pakar hukum pidana, salah satu narasumber, bila melihat kasusnya, pelaku tabrakan itu akan dikenai hukuman penjara maksimal 6 tahun. Mendengar pendapat demikian, spontan saja ayah salah satu korban tabrakan itu yang juga diundang oleh TVOne menjadi marah. Ia bahkan berkata tegas, ”Anak saya bukan binatang. Mengapa hukumannya sangat ringan?”
Keinginan ayah korban itu untuk menghukum pelaku dengan hukuman berat tidak akan tercapai karena berbeturan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Jadi, meski peristiwa tabrakan itu dianggap keterlaluan oleh mayoritas masyarakat, terutama keluarga korban, namun hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tidak akan terlalu berat, dengan pertimbangan bahwa sang pelaku sedang berada dalam pengaruh obat-obat terlarang.
Hal yang sama juga terjadi dalam banyak kasus korupsi di negeri ini. Meski publik berharap, para koruptor mendapat hukuman berat, tapi hal itu tidak akan terjadi bila tidak didukung oleh fakta-fakta hukum yang kuat.
Cermati saja kasus yang sedang menimpah Nazaruddin. Meski Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, serta beberapa nama lain seperti Angelina Sondakh disebut-sebut sebagai pelaku korupsi kelas kakap, namun mereka tidak akan bisa dibawah ke meja hijau, bila fakta-fakta hukum yang mendukung tidak kuat untuk memvonis mereka.
Lantas, mungkinkah keadilan yang sesungguhnya itu sebagai cita-cita yang mau diraih oleh sebuah negara hukum bisa tercapai? Apa yang mungkin bisa dilakukan? Apa yang dibutuhkan agar hukum selain bisa menghasilkan keputusan yang adil tetapi juga bisa mengakomodasi tuntutan lain di luar fakta-fakta hukum, misalnya saja rasa keadilan bagi pihak korban seperti dalam kasus “Xenia Maut” atau dalam proses penyelesaian kasus-kasus korupsi.
Dekonstruksi
Filsuf postmodernisme, Jacques Derrida (1930-2004) membantu kita untuk membaca fenomena seperti ini. Ia mengatakan, penegak hukum hanya membutuhkan informasi-informasi yang menyangkut bukti hukum untuk mencari keadilan. Keadilan bagi mereka haruslah sesui dengan aturan dan pasal-pasal dalam hukum. Itulah yang kini terjadi dan dipraktekkan di Indonesia. Jadi, keadilan hanya dapat ditemukan dalam hukum.
Menurut Derrida, tentu saja apa yang diyakini sebagai keadilan oleh penegak hukum tidaklah identik dengan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang sesungguhnya tidak identik dengan keputusan-keputusan hukum. Keputusan di pengadilan paling banter dapat dikatakan legal. Apa yang dikatakan legal belum tentu disebut adil.
Dalam hal ini, keputusan pengadilan bisa saja salah. Masih ada kemungkinan lain mencari keadilan. Bagi Derrida, keadilan bisa ditelusuri di luar tatanan dan melampaui hukum positif. Keadilan dalam arti sesungguhnya dapat tercapai hanya jika penegak hukum mengambil jarak terhadap pasal-pasal, melakukan tafsiran terus-menerus terhadap bunyi pasal-pasal itu, seolah-olah dia belum berhubungan dengan pasal itu sebelumnya. Artinya, butuh kempetensi lebih penegak hukum untuk kreatif dan selalu berupaya menemukan makna baru.
Mengapa mereka dituntut untuk tak hanya mengikuti pasal-pasal? Jawabannya sederhana. Pasal-pasal itu bukan doktrin yang harus dipatuhi, minus berpikir, refleksi dan interpretasi.
Dalam konteks inilah, keadilan, demikian Derrida, adalah sebuah dekonstruksi. Dekonstruksi adalah upaya membaca teks hukum secara radikal agar muncul pemaknaan baru dalam memutuskan sebuah kasus hukum.
Yang terjadi kini di Indonesia adalah tak ada ruang bagi dekonstruksi itu. Maka yang mengkorupsi uang bermiliaran rupiah, tak akan diberi hukuman yang pantas, meski publik mengharapkan itu, bila tak didukung oleh fakta-fakta hukum yang kuat. Penegak hukum hanya berpatokan pada ketentuan undang-undang, tanpa berupaya menginterpretasikan pasa-pasal itu.
Dan, persis, di sinilah hukum menjadi sumber ketidakadilan bagi masyarakat yang tak terlalu tahu bagaimana harus menjawab tuntutan hukum bagi mereka. Akibatnya, meski kesalahan mereka tak seberapa, tapi hukumannya berat. Berbeda dengan para koruptor yang bisa menyewa pengacara dengan uang bermiliaran rupiah, demi bebas dari jeratan hukum. Di sini, jelas, hukum yang de iure diharapakan menjamin keadilan, malahan melahirkan ketidakadilan.
Yang dibutuhkan sekarang, sekali lagi, kompetensi penegak hukum sehingga tidak hanya berkaca pada fakta-fakta berkekuatan hukum, tapi juga pada faktor lain di luar tatanan hukum itu, yang bisa mendukung terpenuhinya rasa keadilan.
Kalaupun keadilan yang sesungguhnya itu tidak mungkin tercapai, minimal keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak melukai rasa keadilan. Paling sederhana, masyarakat kecil yang mencuri pisang di kebun tetangga, hukumannya tak boleh sama dengan pejabat yang mengkorupsi uang rakyat milyaran rupiah. Maka, butuh kompetensi yang dipadu kecermatan budi serta kejernian nurani penegak hukum untuk mewujudkan keadilan itu.***


oleh Ryan Dagur pada 4 Februari 2012 pukul 6:50 ·

HUKUM YANG BERLAKU DI INDONESIA


Hukum adalah suatu peraturan yang mengatur tata kehidupan manusia baik tertulis maupun tidak tertulis yang di dalamnya berisikan sanksi. Sumber hukum terbagi dua yaitu materi dan formil. Hukum materil terdiri dari sosiologi hukum, filsafat hukum dan sejarah hukum. Sedangkan hukum materil terdiri dari Jurisprudensi, Doktrin, UU, Tractat dan Kebiasaan.Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi,[1] yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Buku ini membahas berbagai pengertian umum dan seluk beluk sekitar hukum positif Indonesia. Selain itu, buku ini memaparkan Pengertian Hukum Positif, Jenis atau Macam Hukum Positif, Keadaan Hukum Positif, Asas-Asas Penerapan Hukum Positif dan Metode Penerapan Hukum Positif.
Ada beberapa sistem hukum yang berlaku di dunia dan perbedaan sistem hukum tersebut juga mempengaruhi bidang hukum perdata, antara lain sistem hukum Anglo-Saxon (yaitu sistem hukum yang berlaku di Kerajaan Inggris Raya dan negara-negara persemakmuran atau negara-negara yang terpengaruh oleh Inggris, misalnya Amerika Serikat), sistem hukum Eropa kontinental, sistem hukum komunis, sistem hukum Islam dan sistem-sistem hukum lainnya. Hukum perdata di Indonesia didasarkan pada hukum perdata di Belanda, khususnya hukum perdata Belanda pada masa penjajahan.
Wikisource
Wikisource memiliki naskah sumber yang berkaitan dengan The Civil Code
* Buku I tentang Orang; mengatur tentang hukum perseorangan dan hukum keluarga, yaitu hukum yang mengatur status serta hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subyek hukum. Antara lain ketentuan mengenai timbulnya hak keperdataan seseorang, kelahiran, kedewasaan, perkawinan, keluarga, perceraian dan hilangnya hak keperdataan. Khusus untuk bagian perkawinan, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
* Buku II tentang Kebendaan; mengatur tentang hukum benda, yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki subyek hukum yang berkaitan dengan benda, antara lain hak-hak kebendaan, waris dan penjaminan. Yang dimaksud dengan benda meliputi (i) benda berwujud yang tidak bergerak (misalnya tanah, bangunan dan kapal dengan berat tertentu); (ii) benda berwujud yang bergerak, yaitu benda berwujud lainnya selain yang dianggap sebagai benda berwujud tidak bergerak; dan (iii) benda tidak berwujud (misalnya hak tagih atau piutang). Khusus untuk bagian tanah, sebagian ketentuan-ketentuannya telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU nomor 5 tahun 1960 tentang agraria. Begitu pula bagian mengenai penjaminan dengan hipotik, telah dinyatakan tidak berlaku dengan di undangkannya UU tentang hak tanggungan.
* Buku III tentang Perikatan; mengatur tentang hukum perikatan (atau kadang disebut juga perjanjian (walaupun istilah ini sesunguhnya mempunyai makna yang berbeda), yaitu hukum yang mengatur tentang hak dan kewajiban antara subyek hukum di bidang perikatan, antara lain tentang jenis-jenis perikatan (yang terdiri dari perikatan yang timbul dari (ditetapkan) undang-undang dan perikatan yang timbul dari adanya perjanjian), syarat-syarat dan tata cara pembuatan suatu perjanjian. Khusus untuk bidang perdagangan, Kitab undang-undang hukum dagang (KUHD) juga dipakai sebagai acuan. Isi KUHD berkaitan erat dengan KUHPer, khususnya Buku III. Bisa dikatakan KUHD adalah bagian khusus dari KUHPer.
* Buku IV tentang Daluarsa dan Pembuktian; mengatur hak dan kewajiban subyek hukum (khususnya batas atau tenggat waktu) dalam mempergunakan hak-haknya dalam hukum perdata dan hal-hal yang berkaitan dengan pembuktian. Di Indonesia saat ini berbagai kalangan, terutama para pemerhati dan pelaku-pelaku bisnis telah merasakan pentingnya melaksanakan prinsip-prinsip GCG dalam kegiatan bisnis sehari-hari. Oleh karena itu sebagai sumbang saran atas kegairahan tersebut, essay ini berkehendak untuk membuka wawasan secara kritis mengenai eksistensi hukum positif Indonesia, khususnya bidang hukum perusahaan, yang mendukung aplikasi prinsip-prinsip GCG, disertai fakta-fakta pengelolaan bisnis yang terjadi sampai saat, dan perbandingannya dengan praktik-praktik dan pengalaman sistem hukum lain. Essay ini ditutup dengan suatu rekomendasi yang berisi asumsi atau alternatif agar idealitas bahwa Perseroan Terbatas (PT) merupakan “agent of economic welfare�? dapat menjadi kenyataan.
Kebutuhan dan desakan kearah tersebut telah menjadi kontroversi, diantaranya perumusan delik-delik dalam rancangan KUHP. Kriminalisasi sejumlah perbuatan yang sebelumnya bukan merupakan pelanggaran telah dikonstruksi dari hukum Islam, seperti tindak pidana kesusialaan, santet, kumpul kebo, dan permukahan (zina). Apabila nilai-nilai Islam telah menyatu dengan hukum positif Indonesia, persoalan yang lebih kompleks adalah upaya implementasi (law enforcement) serta hukum beracara, penyidikan, dan pembuktiannya. Hal ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi umat Islam khususnya cendekiawan hukum Islam.
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan administrasi negara. Yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya . hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata negara.kesamaanya terletak dalam hal kebijakan pemerintah ,sedangkan dalam hal perbedaan hukum tata negara lebih mengacu kepada fungsi konstitusi/hukum dasar yang digunakan oleh suatu negara dalam hal pengaturan kebijakan pemerintah,untuk hukum administrasi negara dimana negara dalam "keadaan yang bergerak". Hukum tata usaha negara juga sering disebut HTN dalam arti sempit.(*_)
[sunting] Hukum acara perdata Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tentang tata cara beracara (berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata. Dalam hukum acara perdata, dapat dilihat dalam berbagai peraturan Belanda dulu(misalnya; Het Herziene Inlandsh Reglement/HIR, RBG, RB,RO).
Perdebatan mengenai “islamisasi” KUHP menjadi semakin meruncing yang berawal dari statemen Menkeh Yusril Ihza Mahendra, yang menegaskan bahwa dalam merevisi KUHP, selain mengacu ke Belanda, juga akan mengadopsi hukum adat, konvensi internasional dan hukum Islam. Ironisnya, yang kemudian lebih mencuat adalah adopsi hukum Islam. RUU KUHP dipandang sebagai bentuk islamisasi KUHP. “Menyusun KUHP baru dengan mengedepankan agama tertentu sangat beresiko dalam masyarakat yang pluralis seperti Indonesia”. Tandas Robertus Robet, Wakil Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).


Sumber hukum formal adalah sumber hukum dari mana secara langsung dapat dibentuk hukum yang akan mengikat masyarakatnya. Dinamai dengan sumber hukum formal karena semata-mata mengingat cara untuk mana timbul hukum positif, dan bentuk dalam mana timbul hukum positif, dengan tidak lagi mempersoalkan asal-usul dari isi aturan-aturan hukum tersebut.
Sumber-sumber hukum formal membentuk pandangan-pandangan hukum menjadi aturan-aturan hukum, membentuk hukum sebagai kekuasaan yang mengikat. Jadi sumber hukum formal ini merupakan sebab dari berlakunya aturan-aturan hukum.
Tiap-tiap bangsa memiliki hukumnya sendiri, seperti terhadap bahasa dikenal tata bahasa, demikian juga terhadap hukum dikenal juga tata hukum. Tiap-tiap bangsa mempunyai tata hukumnya sendiri
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua orang. Salah satu kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga dunia, seperti Booz-Allen & Hamilton, McKinsey dan Bank Dunia terhadap kinerja perekonomian Indonesia adalah rendahnya praktik Good Corporate Governance (GCG). Secara umum, GCG sendiri berarti suatu proses dan struktur yang digunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis dan akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lain[1]. Dari pengertian tersebut, selanjutnya dapat dijelaskan bahwa GCG tidak lain adalah permasalahan mengenai proses pengelolaan perusahaan, yang secara konseptual mencakup diaplikasikannya prinsip-prinsip transparancy, accountability, fairness dan responsibility.
Pada saat baru lahir ditahun 1945, negara ‘bayi’ bernama Indonesia mengunifikasi serta mengkodifikasi hukum positif buatan Belanda yang diberlakukan bagi masyarakat di Hindia Belanda yang terdiri dari berbagai etnik saat itu – bangsa Eropa, bangsa Cina, dan bangsa Timur Jauh bukan Cina yaitu bangsa Arab dan India serta masyarakat pribumi/inlander bangsa Nusantara. Dasar dari peraturan Belanda tersebut sebenarnya adalah hukum buatan VOC (Verenige Oost Indische Companie), yang merupakan multinational company pertama di Nusantara. Perusahaan dagang multinasional milik kolonial Belanda yang dibentuk oleh 14 warga Belanda bagi manajemen penjajahan dinegara jajahan di Asia Tenggara ditengah kemelut ekonomi dalam negeri Kerajaan Belanda yang terjerat hutang yang besar pasca perang dengan negara-negara tetangganya dan menuju kebangkrutan. Hukum khusus yang mereka buat tersebut sesungguhnya memang khusus untuk diberlakukan bagi para inlander/masyarakat jajahan Belanda di Hindia Belanda. Artinya kita sekarang sebasedang terjajah oleh bangsanya sendiri. Sehingga tidak mengherankan sikap krusial pilihan hukum para penegak hukum Indonesia sampai hari ini masih memprihatinkan. Hukum harus ditegakkan dan keadilan harus dijujurkan – vivat justitia vereat mudus (walaupun langit akan runtuh hukum harus tetap ditegakkan).
Hukum perdata Indonesia
Salah satu bidang hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan umum (misalnya politik dan pemilu (hukum tata negara), kegiatan pemerintahan sehari-hari (hukum administrasi atau tata usaha negara), kejahatan (hukum pidana), maka hukum perdata mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti misalnya kedewasaan seseorang, perkawinan, perceraian, kematian, pewarisan, harta benda, kegiatan usaha dan tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
Bahkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata (dikenal KUHPer.) yang berlaku di Indonesia tidak lain adalah terjemahan yang kurang tepat dari Burgerlijk Wetboek (atau dikenal dengan BW)yang berlaku di kerajaan Belanda dan diberlakukan di Indonesia (dan wilayah jajahan Belanda) berdasarkan azas konkordansi. Untuk Indonesia yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, BW diberlakukan mulai 1859. Hukum perdata Belanda sendiri disadur dari hukum perdata yang berlaku di Perancis dengan beberapa penyesuaian. Kitab undang-undang hukum perdata (disingkat KUHPer) terdiri dari empat bagian, yaitu:
Hukum pidana Indonesia
Berdasarkan isinya, hukum dapat dibagi menjadi 2, yaitu hukum privat dan hukum publik (C.S.T Kansil).Hukum privat adalah hukum yg mengatur hubungan orang perorang, sedangkan hukum publik adalah hukum yg mengatur hubungan antara negara dengan warga negaranya. Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan hukum pidana formil. Hukum pidana materiil mengatur tentang penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan pidana (sanksi). Di Indonesia, pengaturan hukum pidana materiil diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP). Hukum pidana formil mengatur tentang pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia, pengaturan hukum pidana formil telah disahkan dengan UU nomor 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana (KUHAP).
Hukum tata negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur tentang negara, yaitu antara lain dasar pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum (hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara. Perusahaan, dalam hal ini yang berbentuk perseroan terbatas secara fungsional dituntut memberikan nilai tambah (value added), baik berbentuk financial return bagi para pemegang saham (shareholders) maupun social-welfare, yang sekurang-kurangnya value added bagi stakeholders. Berkenaan dengan hal ini perlu mendapat perhatian implementasi dan enforcement dari Pasal 2 Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), yakni bahwa kegiatan perseroan harus sesuai dengan maksud dan tujuannya serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum dan/atau kesusilaan. Meskipun Pasal 21 ayat (1) UUPT telah mewajibkan Direksi PT untuk melakukan Wajib Daftar Perusahaan, yang intinya adalah penyampaian ketentuan yang termuat dalam Anggaran Dasar, di antaranya maksud dan tujuan serta kegiatan usaha perseroan, namun wajib daftar tersebut sampai saat ini masih merupakan proforma yang belum mempunyai konsekuensi hukum yang lebih luas dan positif terutama berkenaan dengan penyalahgunaan maksud dan tujuan PT.
Hukum tata usaha (administrasi) negara
Perbuatan atau tindakan manakah yang menurut hukum, dan manakah yang melawan hukum, bagaimanakah kedudukan seseorang dalam masyarakat, apakah kewajiban-kewajiban dan wewenang-wewenangnya. Semua pertanyaan itu akan terjawab menurut tata hukum masing-masing negara.
Tudingan islamisasi itu memang menguat apalagi melihat latar belakang sang menteri dan pembantunya. Yusril tidak lain adalah ketua Umum Partai Bulan Bintang, sebuah partai yang mengusung agenda pemberlakuan piagam Jakarta. Sementara dibawahnya ada Prof. Abdul Gani Abdullah, Dirjen yang mengurusi pembuatan perundang-undangan Prof. Gani tidak lain adalah guru besar yang berasal dari komunitas institut agama Islam negeri / IAIN (sekarang UIN). Namun, argumen ini dengan mudah dipatahkan. Sebab, draft RUU KUHP sudah selesai disusun pada 1992, jauh sebelum Yusril dan Abdul Gani menjabat.

HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


Pengertian hukum
Dari pengertian hukum yang banyak dan beraneka ragam tersebut, beberapa diantaranya dapat disebutkan disini. Semoga pemahaman para hli hukum berikut ini dapat mewakili pemahaman mengenai apa itu hukum.
Drs.E. Utrecht, SH. Dalam bukunya berjudul Pengantar dalam Hukum (1953) Utrecht berpendapat bahwa hukum adalah himpunan peraturan-peraturan (perintah-perintah dan larangan-larangan) yang mengurus tata tertib suatu masyarakat. Definisi ini menegaskan bahwa hukum wajib ditaati oleh masyarakat itu demi terwujudnya ketertiban masyarakat itu sendiri. Definisi ini juga mengimplikasikan bahwa ketidaktaatan pada perintah dan larangan akan menyebabkan ketidakteraturan masyarakat.
S.M. Amin, SH. Dalam bukunya berjudul Bertamasya ke Alam Hukum Amin mendefinisikan hukum sebagai kumpulan peraturan-peraturan yang trdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi. Selanjutnya Amin menyatakan bahwa tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia, sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara. Kalau dibandingkan dengan definisi hukum yang dikemukakan oleh Utrecht diatas, Amin menambahkan aspek isi dari perintah dan larangan, yakni norma-norma dan sanksi-sanksinya. Dengan demikian, kedua ahli hukum ini menggarisbawahi aspek perintah dan larangan dari hukum yang berisi norma-norma dan sanksi-sanksinya. Keduanya juga setuju bahwa hukum ada dan ditaati demi menjamin keteraturan masyarakat.
J.C.T Simorangkir, SH, dan Woerjono Sastropranoto, SH. Dalam bukunya berjudul Pelajaran Hukum Indonesia kedua ahli hukum ini mendefinisikan hukum sebagai Peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap peraturan-peraturan tadi akan mengakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dngan hukum tertentu. Dibandingkan dengan dua definisi terdahulu, harus diakui bahwa sejauh ini hukum tetap dipahami sebagai seperangkat peraturan (perintah dan larangan) yang berfungsi mengatur prilaku masyarkat demi tercapainya keteraturan kehidupan sosial.
Prof Dr. Franz Magnis-Suseno. Dalam bukunya berjudul Etika Politik, Prof. Magnis mendefinisikan hukum sebagai Sistem norma-norma yang mengatur kehidupan dalam masyarakat. Disini Magnis menempatkan hukum sebagai salah satu norma dari tiga norma umum norma hukum, norma sopan santun dan norma moral adalah jenis norma umum yang mengatur tingkah laku hidup manusia. Disebut norma umum karena norma-norma tersebut berlaku secara umum, kapan dan dimana pun juga. Artinya, setiap kali kita berada ditempat mana pun didunia ini, kita pasti bertemu dan menaati ketiga norma umum ini. Kalau ada norma umum, maka ada juga norma khusus yan keberlakuannya lebih sempit dalam suatu masyarakat tertentu.Misalnya larangan untuk tidak merokok di kampus. Tetapi larangan ini tidak belaku di rumah atau di jalan, jadi orang terikat dan menaati larangan merokok hanya di kampus. Meskipun termasuk salah satu norma umum, norma hukum memiliki kekhasan dan perbedaan dibandingkan dengan kedua norma lainnya. Kekhasan itu terletak pada jenis sanksi yang diterima kalau seseorang melanggar salah satu dari ketiga norma umum yang ada.
Demikianlah kita telah membahas empat pemikiran dari para ahli mengenai apa itu hukum. Dari definisi yang mereka kemukakan diatas, kita dapat menarik beberapa kesimpulan berikut.
Hukum adalah salah satu norma umum dari norma-norma umum yang ada dalam masyarakat.
Norma hukum berisi perintah-perintahbdan larangan-larangan yanhg harus ditaati.
Perintah dan larangan dalam norma hukum bersifat tegas dan pasti, karena itu wajib dilaksanakan.
Ada sanksi-sanksi tertentu yang akan dikenakan pada mereka yang tidak menaati hukum.
Ada lembaga tertentu dalam masyarakat yang tugasnya membuat atau menghasilkan hukum.
Sebagai salah satu norma, hukum alat untuk menjamin keteraturan dan ketertiban masyarakat.

Pengertian Hak Asasi Manusia
Prof. Dr. Frans Magnis Suseno dalam buku etika politik menulis sebagai hak-hak yang dimiliki manusia bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Prof Dr. Miriam Budiardjo dalam bukunya dasar-dasar ilmu politik juga menegaskan hal yang kurang lebih sama. Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya dalam kehidupan masyarakat. Hak-hak yang dimiliki manusia karena status kemanusiaannya tersebut adalah hak-hak dasar yang menentukan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, melanggar atau tidak mengakui hak asai manusia sama saja dengan tidak mengakui atau merendahkan martabat manusia. Kalau martabat manusia sebagi manusia sudah dilecehkan atau direndahkan, maka manusia tidak bermartabat lagi. Manusia hanya akan menjadi salah satu benda (thing) di kosmos ini, yang dapat diperlakukan seenaknya saja oleh pihak penguasa.
Menurut john locke, ia menyatakan bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah yang tidak dapat dilepaskan. Hak-hak alamiah itu antara lain hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik, dan hak mengusahakan kebahagiaan. Pemerintah tidak boleh berindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Negara tidak memiliki tujuan pada dirinya. Negara dibentuk masyarakat dengan tujuan untuk melindungi hak-hak alamiah sebagaimana disebutkan diatas. Konsekuensinya, jika negara tidak mampu menjamin hak-hak alamiah tersebut, maka warga negara berhak menarik kembali dukungan mereka terhadap negara. Warga negara bahkan dapat melawan (rebel) negara karena kegagalannya dalam menjamin terlaksananya hak-hak alamiah tersebut. Salah satu contoh yang terkenal adalah rumusan empat hak yang dikemukakan oleh presiden Amerika Serikat, Franklin D. Roosevelt pada tahun 1939. Berhadapan dengan agresi Nazi-jerman yang menginjak-injak HAM, Roosevelt merumuskan empat kebebasan yang dikenal dengan nama the four freedom, yang isinya adalah penegasan dan pengakuan bahwa manusia memiliki :
Kebebasan untuk berbicara dan menyatkan pendapat (freedom of speech).
Kebebasan beragama (freedom of religion).
Kebebasan dari ketakutan (freedom srom fear).
Kebebasan dari kemelaratan (freedom from want).

Sejalan dengan kesadaran semacam ini, pada tahun 1946 PBB mendirikan Komisi Hak-hak asasi Manusia yang menetapkan secara terperinci hak-hak politik, ekonomi, dan sosial. Hasil kerja komisi ini dirumuskan dalam bentuk Deklarasi HAM yang diajukan kepada SU PBB pada tahun 1948 dan diterima secara aklamasi oleh negara-negara anggota PBB.
Hak-hak sipil dan politik serta hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya yang terdapat Deklarasi HAM PBB adalah sebagai berikut:
Hak-hak sipil dan politik, mencakup:
Pasal 6: Hak atas hidup (right to life).
Pasal 9: Hak atas kebebasan dan keamanan dirinya (right to liberty and security of person).
Pasal 14: Hak atas kesamaan dimuka badan-badan peradilan (right to equality before the courts and tribunals).
Pasal 18: Hak atas kebebasan berpikir, memiliki suara hati, dan beragama (right to freedom of thought, conscience, and religion).
Pasal 19: Hak untuk mempunyai pendapat tanpa gangguan (right to hold opinion without interference).
Pasal 21: Hak atas kebebasan berkumpul secara damai (right to peaceful assembly).
Pasal 22: Hak untuk berserikat (right to freedom of association).
Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya meliputi:
Pasal 6: Hak atas pekerjaan (right to work).
Pasal 8: Hak untuk membentuk serikat kerja (right to form trade union).
Pasal 9: Hak atas jaminan sosial (right to social security).
Pasal 11: Hak atas tingkat kehidupan yang layak bagi dirinya serta keluarganya, termasuk makanan, pakaian, dan perumahan yang layak (right to an adequate standard of living fo himself and his family, including adequate food, clothing and housing).
pasal 13: Hak atas pendidikan (right to education).
Demikian uraian yang panjang dan rinci mengenai hukum dan HAM. Sebagai kesimpulan akhir, mari kita menegaskan sekali lagi bahwa semakin banyak hak-hak asasi manusia masuk dan diakomodasi dalam hukum positif negara-negara akan semakin memperlihatkan betapa negara tersebut menjunjung tinggi martabat manusia Tantangan ke depan masih berat karena tidak ada jaminan bahwa HAM akan selalu diakui dan ditegakkan oleh negara. Karena itu, pemerkuatan gerakan civil society dan basis-basis demokrasi akan memudahkan kita memperjuangkan ditegaknya HAM.

Hubungan Moral dan Hukum

Kata moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia (bukan sebagai dosen, fransiskan, tukang becak). Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi kebaikkannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolok ukur untuk menentukan betul salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Hukum adalah norma-norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma yang tidak dibiarkan untuk dilanggar. Orang yang melanggar hukum pasti dikenai hukuman sebagai sanksi.
Terdapat hubungan erat antara moral dan hukum; keduanya saling mengandaikan dan sama-sama mengatur perilaku manusia. Hukum membutuhkan moral. Hukum tidak berarti banyak kalau tidak dijiwai oleh moralitas. Tanpa moralitas, hukum adalah kosong. Kualitas hukum sebagian besar ditentukan oleh mutu moralnya. Karena itu, hukum harus selalu diukur dengan norma moral. Produk hukum yang bersifat imoral tidak boleh tidak harus diganti bila dalam masyarakat kesadaran moral mencapai tahap cukup matang.
Di sisi lain, moral juga membutuhkan hukum. Moral akan mengawang-awang kalau tidak diungkapkan dan dilembagakan dalam masyarakat dalam bentuk salah satunya adalah hukum. Dengan demikian, hukum bisa meningkatkan dampak sosial dari moralitas. "Menghormati milik orang lain" misalnya merupakan prinsip moral yang penting. Ini berarti bukan saja tidak boleh mengambil dompet orang lain tanpa izin, melainkan juga milik dalam bentuk lain termasuk milik intelektual, hal-hal yang ditemukan atau dibuat oleh orang lain (buku, lagu, komposisi musik, merk dagang dsb).
Hal ini berlaku karena alasan etis, sehingga selalu berlaku, juga bila tidak ada dasar hukum. Tetapi justru supaya prinsip etis ini berakar lebih kuat dalam masyarakat, kita mengadakan persetujuan hukum tentang hak cipta, pada taraf internasional, seperti konvensi Bern (1889).
Namun perbedaan di antara keduanya perlu tetap dipertahankan dan tidak semua norma moral dapat serta perlu dijadikan norma hukum. Kendati pemenuhan tuntutan moral mengandaikan pemenuhan tuntutan hukum, keduanya tidak dapat disamakan begitu saja. Kenyataan yang paling jelas membuktikan hal itu adalah terjadinya konflik antara keduanya.
Di bawah ini akan ditunjukkan beberapa poin penting perihal perbedaan antara moral dan hukum.
Hukum lebih dikodifikasikan daripada moralitas, artinya dituliskan dan secara kurang lebih sistematis disusun dalam kitab undang-undang. Karena itu norma yuridis mempunyai kepastian lebih besar dan bersifat lebih objektif. Sebaliknya norma moral bersifat lebih subjef dan akibatnya lebih banyak diganggu oleh diskusi-diskusi yang mencari kejelasan tentang apa yang dianggap etis atau tidak etis. Tentu saja di bidang hukum pun terdapat banyak diskusi dan ketidakpastian tetapi di bidang moral ketidakpastian ini lebih besar karena tidak ada pegangan tertulis.
Hukum membatasi diri pada tingkah laku lahiriah saja, sedangkan moral menyangkut juga sikap batin seseorang. Itulah perbedaan antara moralitas dan legalitas (bdk Kant). Niat batin tidak termasuk jangkauan hukum. Sebaliknya dalam konteks moralitas sikap batin sangat penting. Orang yang hanya secara lahiriah memenuhi norma-norma moral berlaku "legalistis". Sebab, legalisme adalah sikap memenuhi norma-norma etis secara lahiriah saja tanpa melibatkan diri dari dalam.
Sanksi yang berkaitan dengan hukum berlainan dengan sanksi yang berkaitan dengan moralitas. Hukum untuk sebagian besar dapat dipaksakan; orang yang melanggar hukum akan mendapat sanksi/hukuman. Tetapi norma-norma etis tidak dapat dipaksakan. Menjalankan paksaan dalam bidang etis tidak efektif juga. Sebab paksaan hanya dapat menyentuh bagian luar saja, sedangkan perbuatan-perbuatan etis justru berasal dari dalam. Satu-satunya sanksi dalam bidang moralitas adalah hati nurani yang tidak tenang karena menuduh si pelaku tentang perbuatannya yang kurang baik.
Hukum didasarkan atas kehendak masyarakat dan akhirnya atas kehendak negara. Juga kalau hukum tidak secara langsung berasal dari negara seperti hukum adat maka hukum itu harus diakui oleh negara seupaya berlaku sebagai hukum. Moralitas didasarkan pada norma-norma moral yang melampaui para individu dan masyarakat. Dengan cara demokratis ataupun cara lain masyarakat dapat mengubah hukum tetapi tidak pernah masyarakat mengubah atau membatalkan suatu norma moral. Masalah etika tidak dapat diputuskan dengan suara terbanyak.

Berhadapan dengan latar belakang pemikiran di atas kita lantas bertanya apakah karena persoalan moral dan hukum yang begitu erat kaitannya sehingga kasus Soeharto tidak bisa tuntas di mejahijau. Bapak Pembangunan di satu sisi (persoalan moral) dan koruptor (yang harus dipecahkan secara hukum) membingungkan seluruh warga bangsa ini untuk menentukan Soeharto sebagai penjahat atau orang baik? Sulit memang jika ini menjadi dilema politik bangsa ini.

Pengertian Hukum Menurut Para Ahli Hukum


1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat masyarakat.
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
3. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya (Friedmann, 1993: 149).
4. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat.
5. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam melakukan tugasnya.
6. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang yang melanggar peraturan itu.
7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang dalam masyarakat.
9. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan.
10. S.M. Amir, S.H.: hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu.
12. M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma) yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta, umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan sebagainya.
13. J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H. bahwa hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman.
14. Soerojo Wignjodipoero, S.H. hukum adalah himpunan peraturan-peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H. menyebutkan aneka arti hukum yang meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang, keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum.
16. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H. menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
17. Otje Salman, S.H.: dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dar apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut:
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
b. Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi (politik hukum).
c. Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
d. Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi Hukum.
e. Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di Indonesia).
f. Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki lima.
g. Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.
h. Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan pimpinan eksekutif.
i. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para pembentuk dan pelaksana hukum.
j. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh anggota dan pemuka masyarakat.
k. Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli yurisprudence).
l. Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap lingkungannya; ahli karikatur.