A. Latar
Belakang Masalah
Hukum sebagai suatu instrumen yang keberadaannya
sangat dibutuhkan dan melekat pada setiap kehidupan sosial masyarakat. Hukum
diperlukan untuk mewujudkan dan menjaga tatanan kehidupan bersama yang
harmonis. Tanpa adanya aturan hukum, maka kehidupan masyarakat akan
tercerai-berai dan tidak dapat lagi disebut sebagai satu kesatuan kehidupan
sosial yang harmonis.
Norma hukum dapat berupa sebagai suatu perintah
ataupun larangan yang bertujuan agar setiap individu anggota masyarakat dalam
melakukan sesuatu tindakan yang diperlukan untuk menjaga harmoni kehidupan
bersama atau sebaliknya agar masyarakat tidak melakukan suatu tindakan yang
dapat merusak tatanan kehidupan masyarakat itu sendiri. Jika tindakan yang
diperintahkan itu tidak dilakukan atau dengan kata lain suatu larangan
dilanggar maka keseimbangan harmoni masyarakat akan terganggu.
Karakteristik hukum sebagai norma atau kaidah selalu
dinyatakan berlaku secara umum dan universal yang dikenal dengan asas equality
before the law persamaan di depan hukum untuk siapa saja dan dimana
saja dalam wilayah negara tanpa membeda-bedakan dari segi apapun atau tidak
berlaku secara diskriminatif kecuali jika dalam pelaksanaannya ada oknum aparat
penegak hukum dalam struktur hukum telah memberlakukan hukum itu sendiri secara
diskriminatif.
Dewasa ini masalah penegakan hukum merupakan suatu
persoalan yang sering dihadapi oleh setiap masyarakat. Walaupun kemudian setiap
masyarakat dengan karakteristiknya masing-masing mungkin memberikan corak
permasalahannya tersendiri di dalam kerangka penegakan hukumnya. Namun demikian
setiap masyarakat mempunyai tujuan yang sama agar didalam masyarakat tercapai
kedamaian sebagai akibat dari penegakan hukum yang formil.
Kedamaian tersebut dapat diartikan bahwa di satu pihak
terdapat ketertiban antar pribadi yang bersifat eksteren dan dilain pihak
terdapat ketentraman pribadi interen. Demi tercapainya suatu ketertiban dan
kedamaian maka hukum berfungsi untuk memberikan jaminan bagi seseorang agar
kepentingannya diperhatikan oleh setiap orang lain. Jika kepentingan itu
terganggu maka hukum harus melindunginya serta setiap ada pelanggaran hukum.
Oleh karenanya hukum itu harus dilaksanakan dan ditegakan tanpa membeda-bedakan
atau tidak memberlakukan hukum secara diskriminatif.
Dengan demikian, dalam upaya untuk
menjaga ketertiban kehidupan bermasyarakat maka hukum harus ditegakan ditandai
bahwa setiap kejahatan dan pelanggaran terhadap hukum harus mendapatkan sanksi
sesuai dengan tingkat kejahatan dan pelanggaran itu sendiri. Sanksi terdiri
atas berbagai macam bentuk yang bertujuan memberikan keadilan tidak saja kepada
korban tetapi juga sebagai tata nilai yang merekatkan tatanan kehidupan
bermasyarakat.
Selain keadilan,
tujuan lain dari hukum yaitu adanya kepastian hukum dan kemanfaatan. Namun
keadilan adalah tujuan yang tertinggi dari hukum. Kepastian hukum adalah bagian
dan dibutuhkan sebagai upaya menegakkan keadilan. Dengan kepastian hukum setiap
perbuatan yang terjadi dalam kondisi yang sama akan mendapatkan sanksi. Adapun
kemanfaatan dilekatkan pada hukum sebagai alat untuk mengarahkan masyarakat
yang tentu saja tidak boleh melanggar keadilan.
Dalam praktek penegakan hukum yang sedang berlangsung saat ini, pengutamaan
nilai kepastian hukum lebih menonjol dibanding dengan rasa keadilan dan
kemanfaatannya. Dengan demikian apabila hukum lebih mengutamakan kepastian
hukum maka dengan sendirinya penegakannya akan menggeser nilai-nilai keadilan
dan kemanfaatan hukum demikian pula sebaliknya. Sehingga dalam penerapannya
banyak terjadi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan masalah
penegakan hukum dimana masyarakat merasa kecewa dengan adanya suatu putusan
hakim yang dinilai mencederai rasa keadilan masyarakat dan hanya mementingkan
penegakan hukum secara prosedural semata.
Oleh karena
itu pentingnya memahami hakikat tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan
kemanfaatan dalam rangka penegakkan hukum untuk mewujudkan rasa keadilan dengan
adanya jaminan kepastian hukum dan memberikan manfaat bagi masyarakat sehingga
kepercayaan masyarakat terhadap hukum dapat tetap terjaga dalam menjaga
ketertiban di masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang telah di uraikan di atas, maka rumusan masalah dalam
penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
falsafah keadilan, kepastian hukum dan penegakan hukum ?
2. Bagaimanakah
penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin kepastian hukum ?
C. Tujuan dan Manfaat
1.
Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini
adalah :
a). Untuk mengetahui bagaimanakah falsafah keadilan,
kepastian hukum dan penegakan hukum.
b). Untuk mengetahui bagaimanakah penegakan hukum yang
berkeadilan dan menjamin kepastian hukum.
2.
Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini memberikan kegunaan dalam mengembangkan kajian
ilmu hukum pidana serta dapat menjadi bahan referensi kepada mahasiswa,
masyarakat dan praktisi hukum khususnya tentang falsafah keadilan, kepastian
hukum dalam kaitannya dengan penegakan hukum.
KERANGKA TEORI
A. Konsep Keadilan
Teori-teori hukum alam sejak Scorates tetap
mempertahankan keadilan sebagai mahkota hukum. Teori hukum alam
mengutamakan the search for justice.[1] Terdapat macam-macam teori mengenai keadilan
dan masyarakat yang adil. Teori-teori ini menyangkut hak dan kebebasan, peluang
kekuasaan, pendapatan dan kemakmuran. Diantara teori-teori itu dapat disebut
teori keadilan Aristoteles dan teori keadilan sosial John Rawl.
1. Teori Keadilan Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa
kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics,dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang berdasarkan filsafat umum Aristoteles mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya karena hukum hanya bisa ditetapkan
dalam kaitannya dengan keadilan.[2] Yang
sangat penting dari pandangannya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami
dalam pengertian kesamaan.
Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan
kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai
satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang
kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan
hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai
dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya. Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut Aristoteles membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif
dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh,
misalnya pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor,
kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat.
Dengan mengesampingkan pembuktian matematis jelaslah bahwa apa yang ada dibenak
Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan
nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan
distribusi yang sesuai dengan nilai kebaikannya yakni nilainya bagi masyarakat.[3]
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang
salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan maka keadilan
korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan,
jika suatu kejahatan telah dilakukan maka hukuman yang sepantasnya perlu
diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun ketidakadilan akan mengakibatkan
terganggunya kesetaraan yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan
korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak
bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan
distributif merupakan bidangnya pemerintah. [4]
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan
antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan
pada watak manusia yang umum dan lazim dengan vonis yang berlandaskan pandangan
tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampur-adukkan
dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan
hukum adat. Karena berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang
terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada
komunitas tertentu sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan
dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa
didapatkan dari fitrah umum manusia.[5]
2. Keadilan Sosial menurut John Rawls
John Rawls dalam bukunya a theory of
justice menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the
difference principledan the principle of fair equality of
opportunity. Inti the difference principle, adalah bahwa
perbedaan sosial dan ekonomis harus diatur agar memberikan manfaat yang paling
besar bagi mereka yang paling kurang beruntung.
Istilah perbedaan sosil-ekonomis dalam prinsip perbedaan menuju pada
ketidaksamaan dalam prospek seorang untuk mendapatkan unsur pokok kesejahteraan,
pendapatan, dan otoritas. Sementara itu, the principle of fair equality
of opportunity menunjukkan pada mereka yang paling kurang mempunyai
peluang untuk mencapai prospek kesejahteraan, pendapat dan otoritas. Mereka
inilah yang harus diberi perlindungan khusus.
Rawls mengerjakan teori mengenai prinsip-prinsip keadilan terutama sebagai
alternatif bagi teori utilitarisme sebagaimana dikemukakan Hume, Bentham dan
Mill. Rawls berpendapat bahwa dalam masyarakat yang diatur menurut
prinsip-prinsip utilitarisme, orang-orang akan kehilangan harga diri, lagi pula
bahwa pelayanan demi perkembangan bersama akan lenyap. Rawls juga berpendapat
bahwa sebenarnya teori ini lebih keras dari apa yang dianggap normal oleh
masyarakat. Memang boleh jadi diminta pengorbanan demi kepentingan umum tetapi
tidak dapat dibenarkan bahwa pengorbanan ini pertama-tama diminta dari
orang-orang yang sudah kurang beruntung dalam masyarakat.
Menurut Rawls, situasi ketidaksamaan harus diberikan aturan yang sedemikian
rupa sehingga paling menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah. Hal
ini terjadi kalau dua syarat dipenuhi. Pertama, situasi ketidaksamaan menjamin
maximum minimorum bagi golongan orang yang paling lemah. Artinya situasi
masyarakat harus sedemikian rupa sehingga dihasilkan untung yang paling tinggi
yang mungkin dihasilkan bagi golongan orang-orang kecil. Kedua, ketidaksamaan
diikat pada jabatan-jabatan yang terbuka bagi semua orang. Maksudnya supaya
kepada semua orang diberikan peluang yang sama besar dalam hidup. Berdasarkan
pedoman ini semua perbedaan antara orang berdasarkan ras, kulit, agama dan
perbedaan lain yang bersifat primordial, harus ditolak.
Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa maka program penegakan keadilan yang
berdimensi kerakyatan haruslah memperhatikan dua prinsip keadilan yaitu
pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang paling
luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu mengatur
kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat memberi
keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi
setiap orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak
beruntung.[6]
Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar masyarakat
sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-hal utama
kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan orang-orang
yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus diperjuangkan
untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap
kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan
institusi-institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua,
setiap aturan harus memposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan
kebijakan-kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.
B. Aliran Positivisme
Positivisme adalah aliran
sejak awal abad ke 19 amat mempengaruhi banyak pemikiran di berbagai
bidang ilmu tentang kehidupan manusia terutama dalam kajian bidang hukum.
Aliran positivisme mengklaim bahwa ilmu hukum adalah sekaligus juga ilmu
pengetahuan tentang kehidupan dan perilaku warga masyarakat (yang mestinya
tertib mengikuti norma-norma kausalitas), maka mereka yang menganut aliran ini
mencoba menuliskan kausalitas-kausalitas itu dalam wujudnya sebagai
perundang-undangan. [7]
Hubungan-hubungan
kausalitas itu dihukumkan atau dipositifkan sebagai norma dan tidak pernah
dideskripsikan sebagai nomos, norma hanya bisa bertahan atau dipertahankan
sebagai realitas kausalitas manakala ditunjang oleh kekuatan struktural yang
dirumuskan dalam bentuk ancaman-ancaman pemberian sanksi. [8]
Legal positivisme
memandang perlu untuk memisahkan secara tegas antara hukum dan moral, hukum
bercirikan rasionalistik, teknosentrik, dan universal. Dalam kacamata
positivisme tidak ada hukum kecuali perintah penguasa, bahkan aliran positivis
legalisme menganggap bahwa hukum identik dengan undang-undang. Hukum dipahami
perspektif yang rasional dan logis, keadilan hukum bersifat formal dan
prosedural.
Secara umum legal
positivisme merupakan suatu aliran yang melakukan kritik terhadap
kelemahan-kelemahan teori hukum kodrat yang mengutamakan kekuatan moral yaitu
hidup sesuai dengan hukum yang tertulis dalam kodrat manusia, sementara legal
positivisme tidak mempersoalkan kandungan subtantif yang normatif, etis maupun
estetis, disamping itu juga mengajarkan bahwa hukum positiflah yang merupakan
hukum yang berlaku dan hukum positif disini adalah norma-norma yudisial yang
telah dibangun oleh otoritas negara. [9]
Diantara ajaran
positivisme yang terpenting adalah ajaran hukum positif yakni analytical
jurisprudence (ajaran hukum analitis) oleh Jhon Austin dan Teori hukum
murni menurut Hans Kelsen.
1. Teori Hukum John
Austin
Menurut ajaran ini hukum adalah perintah penguasa
negara. Hakikat hukum terletak pada unsur perintah. Hukum dipandang sebagai
suatu sistem yang tetap, logis dan tertutup. Dimana hukum dibagi dalam dua
jenis yaitu hukum dari tuhan untuk manusia dan hukum yang dibuat oleh manusia.
Hukum yang dibuat oleh manusia dibedakan menjadi hukum yang sebenarnya dan
hukum yang tidak sebenarnya. Hukum yang sebenarnya (hukum positif) mempunyai
empat unsur yaitu perintah, kewajiban, sanksi dan kedaulatan. Hukum yang tidak
sebenarnya adalah hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum. [10]
2. Teori Hukum
Murni Hans Kelsen
Pembahasan utama dalam teori hukum murni adalah
membebaskan ilmu hukum dari unsur-unsur ideologis misalnya keadilan dipandang
sebuah ide yang tidak rasional, dan teori hukum murni, ia mempertahankan, tidak
bisa menjawab pertanyaan tentang apa yang membentuk keadilan karena pertanyaan
ini sama sekali tidak bisa dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus di
identikan dengan legalitas dalam arti tempat keadilan berarti memelihara sebuah
tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.
Teori
hukum murni menurut Kelsen adalah sebuah teori ilmu hukum positif yang berusaha
menjawab pertanyaan apa hukum itu, tetapi bukan pertanyaan apa hukum itu
seharusnya. Teori hukum murni mengkonsentrasikan diri pada hukum semata-mata
dan berusaha membebaskan ilmu pengetahuan dari campur tangan ilmu-ilmu
pengetahuan asing seperti psikologi dan etika. Hukum tidak bisa dijadikan obyek
penelitian sosial karena itu obyek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat
diketahui secara teroritis tentang tiap jenis hukum pada tiap waktu dan dalam
tiap keadaan. [11]
C. Asas Legalitas
Jika kita berbicara
mengenai kepastian hukum maka terlebih dahulu seyogyanya kita membahas tentang
asas legalitas yang merupakan refleksi dari paham positivisme, dimana asas
tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar dalam penegakan dan kepastian
hukum atau dapat dijelaskan bahwa adanya penegakan hukum yang merupakan wujud
nyata dari kepastian hukum dilaksanakan berdasarkan berlakunya asas legalitas.
Dalam hukum Romawi kuno yang menggunakan bahasa Latin,
tidak dikenal apa yang disebut asas legalitas.[12] Pada
saat itu dikenal kejahatan yang disebut criminal extra ordinaria, yang
berarti kejahatan-kejahatan yang tidak disebut dalam undang-undang.
Diantara criminal extra ordinaria ini yang terkenal
adalah crimina stellionatus (perbuatan durjana/jahat).[13]
Dalam
sejarahnya, criminal extra ordinaria ini di adopsi raja-raja
yang berkuasa. Sehingga terbuka peluang yang sangat lebar untuk menerapkannya
secara sewenang-wenang. Oleh karena itu, timbul pemikiran tentang harus
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan terlebih dahulu
perbuatan-perbuatan apa saja yang dapat dipidana.[14] Dari
sini timbul batasan-batasan kepada negara untuk menerapkan hukum pidana.
Menurut Jan
Remmelink, agar dipenuhinya hak negara untuk menegakkan ketentuan pidana (jus
puniendi), diperlukan lebih dari sekadar kenyataan bahwa tindakan yang
dilakukan telah memenuhi perumusan delik. Tetapi diperlukan lagi norma lain
yang harus dipenuhi, yaitu norma mengenai berlakunya hukum pidana. Di
antaranya, berlakunya hukum pidana menurut waktu (tempus) di
samping menurut tempat (locus). Norma ini sangat penting untuk
menetapkan tanggung jawab pidana.[15]
Bila
suatu tindakan telah memenuhi unsur delik yang dilarang tetapi ternyata
dilakukan sebelum berlakunya ketentuan tersebut, tindakan itu bukan saja tidak
dapat dituntut ke muka persidangan tetapi juga pihak yang terkait tidak dapat
dimintai pertanggungjawabannya. Harus ada ketentuannya terlebih dahulu yang
menentukan bahwa tindakan tersebut dapat dipidana. Norma seperti inilah yang
disebut sebagai asas legalitas atau legaliteitbeginsel atau Principle
of Legality.
Ajaran asas legalitas ini sering dirujuk sebagai nullum
delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, artinya tiada delik, tiada
pidana, tanpa didahului oleh ketentuan pidana dalam perundang-undangan.
Walaupun menggunakan bahasa Latin, menurut Jan Remmelink, asal-muasal adagium
di atas bukanlah berasal dari hukum Romawi Kuno. Akan tetapi dikembangkan oleh
juris dari Jerman yang bernama von Feuerbach, yang berarti dikembangkan pada
abad ke-19 dan oleh karenanya harus dipandang sebagai ajaran klasik.
Dalam bukunya yang berjudul Lehrbuch
des Peinlichen Rechts (1801), Feuerbach mengemukakan teorinya mengenai
tekanan jiwa (Psychologische Zwang Theorie). Feuerbach
beranggapan bahwa suatu ancaman pidana merupakan usaha preventif terjadinya
tindak pidana. Apabila orang telah mengetahui sebelumnya bahwa ia diancam
pidana karena melakukan tindak pidana, diharapkan akan menekan hasratnya untuk
melakukan perbuatan tersebut.[16] Oleh
karena itu harus dicantumkan dalam undang-undang.
Jauh sebelum asas ini muncul,
seorang filsuf Inggris Francis Bacon (1561-1626) telah memperkenalkan adagiummoneat
lex, priusquam feriat, artinya: undang-undang harus memberikan peringatan
terlebih dahulu sebelum merealisasikan ancaman yang terkandung di dalamnya.[17] Dengan
demikian, asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan yang memuat perbuatan
dilarang harus dituliskan terlebih dahulu.
Dalam tradisi sistem civil law, menurut Roelof H Haveman ada
empat aspek asas legalitas yang diterapkan secara ketat, yaitu: Peraturan
perundang-undangan (law), retroaktivitas (retroactivity), lex
certa, dan analogi.[18]
1. Lex Scripta
Dalam tradisi civil law, aspek pertama adalah penghukuman harus
didasarkan pada undang-undang, dengan kata lain berdasarkan hukum yang
tertulis. Undang-undang (statutory, law) harus mengatur
mengenai tingkah laku (perbuatan) yang dianggap sebagai tindak pidana. Tanpa
undang-undang yang mengatur mengenai perbuatan yang dilarang, maka perbuatan
tersebut tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana. Hal ini berimplikasi bahwa
kebiasaan tidak bisa dijadikan dasar menghukum seseorang.
Tidak bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan
tersebut tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam
menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak
pidana yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut.
2. Lex
Certa
Dalam kaitannya dengan hukum yang tertulis, pembuat undang-undang (legislatif)
harus merumuskan secara jelas dan rinci mengenai perbuatan yang disebut dengan
tindak pidana (kejahatan, crimes)[19].
Hal inilah yang disebut dengan asas lex certa atau bestimmtheitsgebot.
Pembuat undang-undang harus mendefinisikan dengan jelas tanpa samar-samar (nullum
crimen sine lege stricta), sehingga tidak ada perumusan yang ambigu
mengenai perbuatan yang dilarang dan diberikan sanksi.
Perumusan yang tidak jelas atau terlalu rumit hanya akan memunculkan
ketidakpastian hukum dan menghalangi keberhasilan upaya penuntutan (pidana) karena
warga selalu akan dapat membela diri bahwa ketentuan-ketentuan seperti itu
tidak berguna sebagai pedoman perilaku.[20] Tidak
bisanya kebiasaan menjadi dasar penghukuman bukan berarti kebiasaan tersebut
tidak mempunyai peran dalam hukum pidana. Ia menjadi penting dalam
menafsirkan element of crimes yang terkandung dalam tindak
pidana yang dirumuskan oleh undang-undang tersebut.
Namun demikian, dalam prakteknya tidak selamanya pembuat undang-undang dapat
memenuhi persyaratan di atas. Tidak jarang perumusan undang-undang di
terjemahkan lebih lanjut oleh kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat
apabila norma tersebut secara faktual dipermasalahkan.[21]
3. Non-retroaktif
Asas legalitas menghendaki bahwa ketentuan peraturan
perundang-undangan yang merumuskan tindak pidana tidak dapat diberlakukan
secara surut (retroaktif). Pemberlakuan secara surut merupakan suatu
kesewenang-wenangan, yang berarti pelanggaran hak asasi manusia. Seseorang tidak dapat dituntut atas dasar
undang-undang yang berlaku surut. Namun demikian, dalam prakteknya penerapan
asas legalitas ini terdapat penyimpangan-penyimpangan.
Sebagai contoh pada kasus Bom Bali, kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia Timor-Timur,
dan kasus Tanjung Priok. Dimana dalam kasus-kasus tersebut asas legalitas
disimpangi dengan memberlakukan asas retroaktif. Jika ditinjau
lebih jauh, penerapan asas retroaktif ini dikarenakan
karakteristik kejahatan-kejahatan dalam kasus tersebut yang sangat berbeda
dengan jenis kejahatan biasa.
Sejalan dengan itu, menurut Prof. Dr. Romli Atmasasmita, prinsip hukum non-retroaktif tersebut
berlaku untuk pelanggaran pidana biasa, sedangkan pelanggaran hak asasi manusia
bukan pelanggaran biasa, oleh karenanya prinsipnon-retroaktif tidak
bisa dipergunakan.
4. Analogi
Seperti disebutkan di sebelumnya, asas legalitas membatasi secara rinci dan
cermat tindakan apa saja yang dapat dipidana. Namun demikian dalam penerapannya
ilmu hukum memberi peluang untuk dilakukan interpretasi terhadap
rumusan-rumusan perbuatan yang dilarang tersebut.[22] Dalam
ilmu hukum pidana dikenal beberapa metode atau cara penafsiran, yaitu
penafsiran tata bahasa atau gramatikal, penafsiran logis, penafsiran
sistematis, penafsiran historis, penafsiran teleologis atau sosiologis,
penafsiran kebalikan, penafsiran membatasi, penafsiran memperluas, dan
penafsiran analogi.[23]
Dari
sekian banyak metode penafsiran tersebut, penafsiran analogi[24] telah
menimbulkan perdebatan di antara para yuris yang terbagi ke dalam dua kubu,
menerima dan menentang penafsiran analogi. Secara ringkas,
penafsiran analogi adalah apabila terhadap suatu perbuatan yang pada saat
dilakukannya tidak merupakan tindak pidana, diterapkan ketentuan hukum pidana yang
berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama
dengan perbuatan tersebut, sehingga kedua perbuatan tersebut dipandang analog
satu dengan lainnya.
Menurut Prof. Andi Hamzah, ada dua macam analogi, yaitu: gesetz
analogi dan recht analogi. Gesetz analogiadalah
analogi terhadap perbuatan yang sama sekali tidak terdapat dalam ketentuan
pidana. Sementara recht analogiadalah analogi terhadap perbuatan
yang mempunyai kemiripan dengan perbuatan yang dilarang dalam ketentuan hukum
pidana.
Beberapa alasan yang menyetujui dipakainya analogi, di antaranya adalah karena
perkembangan masyarakat yang sedemikian cepat sehingga hukum pidana harus
berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat itu. Sementara yang menentang
mengatakan bahwa penerapan analogi dianggap berbahaya karena dapat menyebabkan
ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Dalam perkembangannya, pembatasan dan
penggunaan analogi ini tergantung pada sistem hukum yang dianut suatu negara.[25]
Menurut
Jan Remmelink, inti dari penafsiran analogis singkatnya bagi pendukung pendekatan
ini tidak membatasi pengertian suatu aturan hanya dalam batas-batas polyseem kata-kata.
Bila diperlukan, mereka akan siap sedia mengembangkan dan merumuskan aturan
baru (hukum baru), tentu tidak dengan sembarang melainkan dalam kerangka
pemikiran, rasio ketentuan yang bersangkutan.[26] Dalam
perkembangannya, karena trauma pada saat pemerintahan Nazi, timbul keengganan
yang besar terhadap penggunaan metode ini di seluruh Eropa dan Belanda.
PEMBAHASAN
A.
Falsafah Keadilan, Kepastian Hukum dan Penegakan Hukum
1. Falsafah Keadilan
Falsafah Keadilan merupakan kata yang berasal dari
bahasa yunani yaitu philos yang artinya cinta dan sophia yang artinya
kebijaksanaan. Dalam perkembangannya falsafah disebut filsafat yaitu pandangan
hidup seseorang atau sekelompok orang yang merupakan konsep dasar mengenai
kehidupan yang dicita-citakan. Filsafat juga diartikan sebagai suatu sikap
seseorang yang sadar dan dewasa dalam memikirkan segala sesuatu secara mendalam
dan ingin melihat dari segi yang luas dan menyeluruh dengan segala hubungan.
Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa falsafah ialah mencari
kebenaran dari kebenaran untuk kebenaran tentang segala sesuatu yang
dimasalahkan, dengan berpikir secara sistematik dan menyeluruh. Apabila
seseorang berfikir demikian dalam mengahadapi masalah dalam hubungannya dengan
kebenaran maka orang itu telah memasuki falsafah. Penuturan dan uraian-uraian
yang tersusun oleh pemikirannya itu adalah falsafah-falsafah.
Sedangkan keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang serta keadilan merupakan perkataan yang
di agungkan dan di idamkan oleh setiap orang dimanapun mereka berada. Dari
pengertian diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa falsafah keadilan yaitu
kebijaksanaan yang bersifat adil dan diinginkan oleh masyarakat.
Dalam perkembangannya falsafah keadilan sering dikaitkan dengan salah satu
bidang pranata kehidupan yaitu hukum karena keadilan merupakan tujuan yang
paling utama dari hukum. Problematik bila hukum ternyata tidak mampu mewujudkan
nilai keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Keadilan adalah tolak ukur baik
buruknya suatu hukum.
Pemikiran tentang filsafat hukum dewasa ini diperlukan untuk menelusuri
seberapa jauh penerapan arti hukum dipraktekkan dalam hidup sehari-hari juga
menunjukan ketidaksesuaian antara teori dan praktek hukum sehingga tidak
tercapainya keadilan yang di inginkan. Manusia memanipulasi kenyataan hukum
yang baik menjadi tidak bermakna karena ditafsirkan untuk mencapai kepentingan
tertentu, hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya kasus hukum yang tidak
terselesaikan karena kebenaran hukum dan keadilan dimanipulasi dengan cara yang
sistematik sehingga peradilan tidak mampu menemukan keadaan yang sebenarnya.
Falsafah keadilan adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan
secara rasional dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan
dalam hidupnya. Peranan filsafat keadilan tak pernah selesai terkait dengan
persoalan hukum yang selalu mencari keadilan, hukum dan keadilan adlaah dua hal
yang berjalan beriringan dan tidak dapat dipisahkan. Hukum dibuat dan
ditetapkan adalah agar orang yang berada dibawah naungan hukum tersebut
menikmati dan merasakan keadilan.
Akan tetapi kenyataannya hukum dapat atau sering kali bertentangan dengan nilai
keadilan. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana kaitan antara keduanya,
serta dalam kondisi mana hukum sebagai perangkat paling khas dalam masyarakat
untuk menciptakan tata kehidupan masyarakat dan melaksanakan kebijakan dapat
dipakai untuk tujuan keadilan sosial.
Peribahasa latin, berbunyi fiat justisia et pereat mundus (ruat coelum) yang
artinya hukum yang berkeadilan harus dilaksanakan sekalipun dunia harus kiamat
(sekalipun juga langit runtuh karenanya). Pribahasa latin tersebut menyiratkan
suatu komitmen yang sangat tinggi untuk mewujudkan keadilan di dalam kehidupan
bersama. Kehidupan yang memiliki kehendak kuat untuk menyajikan seperangkat
teks keadilan berdasarkan cita-cita hukum suatu bangsa. Lebih dari itu untuk
meletakkan fondasi konseptual keadilan selalu dipaksa untuk berdaptasi dengan
struktur sosial dan karakteristik problem sosialnya. Untuk alasan inilah, hukum
sangat dinamis dalam mewujudkan keadilan sebagai hasil akhir dari nilai yang
diperjuangkan.
Hukum dan keadilan adalah permasalahan lama akan tetapi selalu menarik
pertalian antara keduanya. Meskipun secara aktual setiap kali kita dihadapkan
dengan sikap kritis terhadap hukum dan keadilan, namun tidak dapat disangkal
bahwa kehidupan bersama tetap memerlukan hukum dan keadilan itu. Pada dasarnya
manusia selalu memerlukan keadilan, kebenaran dan hukum, karena hal itu
merupakan nilai dan kebutuhan asasi bagi masyarakat manusia yang beradab.
Keadilan adalah milik dan untuk semua orang serta segenap masyarakat dan tidak
adanya keadilan akan menimbulkan kehancuran dan kekacauan keberadaan serta
eksistensi masyarakat itu sendiri. Bahkan perbedaan sikap dan kebencian
terhadap orang lain tidak boleh mengakibatkan sikap yang tidak adil.
Apabila ditinjau dalam konteks yang lebih luas, pemikiran mengenai keadilan itu
berkembang dengan pendekatan yang berbeda-beda, karena perbincangan tentang
keadilan yang tertuang dalam banyak literatur itu, tidak mungkin tanpa
melibatkan tema-tema moral, politik, dan teori hukum yang ada. Oleh sebab itu
menjelaskan mengenai keadilan secara tunggal hampir sulit untuk dilakukan.
Namun pada garis besarnya perdebatan mengenai keadilan terbagi atas dua arus
pemikiran, yang pertama adalah keadilan metafisik, diungkapkan oleh Plato,
kemudian dimensi keadilan rasional yang diwakili oleh Aristoteles. Keadilan
yang rasional pada dasarnya mencoba menjawab prihal keadilan dengan cara
menjelaskannya secara ilmiah. Sementara keadilan yang metafisik, mempercayai
eksistensi keadilan sebagai sebuah kualitas atau suatu fungsi di atas dan di
luar makhluk hidup dan oleh sebab itu tidak dapat dipahami menurut kesadaran
manusia berakal.
Sifat relativitas keadilan yang diungkapkan di atas merupakan ragam dalam
pemberian makna secara konseptual terhadap nilai keadilan. Jhon Rawls misalnya,
teori keadilan sosial bertujuan memberikan dasar-dasar bagi kerja sama sosial
masyarakat bangsa pluralistik modern. Berbeda dari masyarakat tradisional,
mereka berpendapat masyarakat modern tak terelakkan menjadi masyarakat
pluralistik dengan kepentingan nilai hidup berbeda-beda, bahkan mungkin
bertentangan. Bagaimanapun pengaturan masyarakat pluralistik modern itu tidak
boleh didasarkan atas suatu nilai hidup tertentu, melainkan haruslah
dikendalikan oleh prinsip yang menjamin dan mengekspresikan kepentingan
bersama. Prinsip itu adalah keadilan sosial.
Konsep keadilan menurut rawls, ialah suatu upaya untuk mentesiskan paham
liberalisme dan sosialisme. Sehingga secara konseptual rawls menjelaskan
keadilan sebagai fairness, yang mengandung asas-asas, bahwa
orang-orang yang merdeka dan rasional yang berkehendak untuk mengembangkan
kepentingan-kepentingannya hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada
saat akan memulainya dan itu merupakan syarat yang fundamental bagi mereka
untuk memasuki perhimpuan yang mereka hendaki.
Namun secara umum, unsur-unsur formal dari keadilan yang dikatakan oleh Rawls
pada dasarnya harus memenuhi nilai unsur hak dan unsur manfaat. Dengan nilai
keadilan yang demikian, yang dikaitkan dengan unsur hak dan manfaat ditambah
bahwa dalam diskursus hukum, perihal realisasi hukum itu berwujud lahiriah,
tanspa mempertanyakan terlebih dahulu itikad moralnya. Maka nilai keadilan di sini mempunyai aspek empiris
juga, di samping aspek idealnya. Maksudnya adalah diaktualisasikan secara
konkret menurut ukuran manfaatnya.
2. Kepastian Hukum
Kepastian hukum merupakan suatu hal yang hanya bisa dijawab secara normatif
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bukan sosiologis, tapi
kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan
diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis dalam artian
tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam arti menjadi
sistem norma dengan norma yang lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan
konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian. Kepastian hukum merupakan
suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu, kelompok maupun organisasi
terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan oleh aturan hukum.
Dalam praktek kita melihat ada undang-undang sebagian besar dipatuhi dan ada
undang-undang yang tidak dipatuhi. Sistem hukum jelas akan runtuh jika setiap
orang tidak mematuhi undang-undang dan undang-undang itu akan kehilangan maknanya.
Ketidakefektifan undang-undang cenderung mempengaruhi waktu sikap dan kuantitas
ketidakpatuhan serta mempunyai efek nyata terhadap perilaku hukum, termasuk
perilaku pelanggar hukum. Kondisi ini akan mempengaruhi penegakan hukum yang
menjamin kepastian dan keadilan dalam masyarakat.
Kepastian hukum dapat kita lihat dari dua sudut, yaitu kepastian dalam hukum
itu sendiri dan kepastian karena hukum. Kepastian dalam hukum dimaksudkan bahwa
setiap norma hukum itu harus dapat dirumuskan dengan kalimat-kalimat di
dalamnya tidak mengandung penafsiran yang berbeda-beda. Akibatnya akan membawa
perilaku patuh atau tidak patuh terhadap hukum. Dalam praktek banyak timbul
peristiwa-peristiwa hukum, di mana ketika dihadapkan dengan substansi norma hukum
yang mengaturnya, kadangkala tidak jelas atau kurang sempurna sehingga timbul
penafsiran yang berbeda-beda yang akibatnya akan membawa kepada ketidakpastian
hukum.
Sedangkan kepastian karena hukum dimaksudkan bahwa karena hukum itu sendirilah
adanya kepastian, misalnya hukum menentukan adanya lembaga daluarsa, dengan
lewat waktu seseorang akan mendapatkan hak atau kehilangan hak. Berarti hukum
dapat menjamin adanya kepastian bagi seseorang dengan lembaga daluarsa akan
mendapatkan sesuatu hak tertentu atau akan kehilangan sesuatu hak tertentu.
Namun demikian, jika hukum diidentikkan dengan perundang-undangan, maka salah
satu akibatnya dapat dirasakan adalah kalau ada bidang kehidupan yang belum
diatur dalam perundang-undangan, maka dikatakan hukum tertinggal oleh
perkembangan masyarakat. Demikian
juga kepastian hukum tidak identik dengan dengan kepastian undang-undang.
Apabila kepastian hukum diidentikkan dengan kepastian undang-undang, maka dalam
proses penegakan hukum dilakukan tanpa memperhatikan kenyataan hukum (Werkelijkheid)
yang berlaku.
Para penegak hukum yang hanya bertitik tolak dari substansi norma hukum formil
yang ada dalam undang-undang (law in book’s), akan cenderung mencederai
rasa keadilan masyarakat. Seyogyanya penekanannya di sini, harus juga bertitik
tolak pada hukum yang hidup (living law). Lebih jauh para penegak hukum
harus memperhatikan budaya hukum (legal culture) untuk memahami sikap,
kepercayaan, nilai dan harapan serta pemikiran masyarakat terhadap hukum dalam
sistim hukum yang berlaku.
3. Penegakan Hukum
Penegakan hukum merupakan bentuk nyata dalam
melaksanakan hukum demi mewujudkan keadilan dan kepastian hukum yang
dilaksanakan oleh struktur hukum yakni aparat penegak hukum terhadap materi
atau substansi hukum itu sendiri bagi para pelanggar hukum.
Penegakan hukum (law enforcement) dalam
arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum seta
melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum
yang dilakukan oleh subyek hukum, baik melalui prosedur peradilan maupun
melalui abitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (Alternative
despute or conflicts resolution). [27]
Dalam pengertian yang lebih luas, kegiatan penegakan hukum mencakup pula segala
aktivitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai perangkat kaidah normatif yang
mengatur dan mengikat pada subjek hukum dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat dan bernegara benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan
sebagaimana mestinya. [28]
Penegakan hukum dalam arti sempit menyangkut kegiatan penindakan terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan,
khususnya melalui proses peradilan pidana yang melibatkan peran serta aparat
kepolisian, kejaksaan, advokat atau pengacara dan badan-badan peradilan karena
itu aktor-aktor utama yang peranannya sangat menonjol dalam proses penegakan
hukum adalah polisi, jaksa, pengacara dan hakim. [29]
Penegakan hukum pada prinsipnya harus dapat memberikan
jaminan kepastian hukum serta manfaat atau berdaya guna (utility) bagi
masyarakat, namun di samping itu masyarakat juga mengharapkan adanya penegakan
hukum untuk mencapai suatu keadilan. Kendatipun demikian tidak dapat kita
pungkiri, bahwa apa yang dianggap berguna (secara sosiologis) belum tentu adil,
begitu juga sebaliknya apa yang dirasakan adil (secara filosopis), belum tentu
berguna bagi masyarakat.
Dalam pelaksanaan penegakan hukum, keadilan harus diperhatikan, namun hukum itu
tidak identik dengan keadilan, hukum itu bersifat umum, mengikat setiap orang,
bersifat menyamaratakan. Setiap orang yang mencuri harus dihukum tanpa
membeda-bedakan siapa yang mencuri. Sebaliknya keadilan bersifat subjektif,
individualistis dan tidak menyamaratakan. Adil bagi seseorang belum tentu
dirasakan adil bagi orang lain.
Para
penegak hukum harus menerapkan hukum tanpa kehilangan ruh keadilan. Hanya
dengan demikian hukum akan menemukan wajah aslinya, sebagai instrumen yang
diperlukan untuk memenuhi dan melindungi manusia dan tatanan kehidupan
bermasyarakat bukan sebaliknya mengorbankan manusia dan masyarakat yang menjadi
tempat keberadaan hukum serta tidak kehilangan roh keadilan yang menjadi tujuan
keberadaan dan penegakan hukum itu sendiri.
Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh hakim itu terikat pada
teori positivisme yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif yang
ditetapkan manusia. Dalam hal ini Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan
itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas nilai. Dimana hakim terikat
dengan hukum positif yang sudah ada berdasarkan paham legisme dalam konsep
positivisme, hakim hanya sebagai corong undang-undang, artinya mau tidak mau
hakim harus benar-benar menerapkan suatu kejadian berdasarkan konsep hukum yang
sudah ada.
Dalam prakteknya konsep positivisme dalam penegakan hukum ini ternyata sangat
jauh dari keadilan karena sering sekali hukum positif itu ketinggalan dengan
perkembangan masyarakat dan kemajuan teknologi sehingga dalam penerapan teori
positivisme tidak bisa serta merta dilaksanakan dengan paham legisme.
Hakim boleh menerapkan teori ini pada kasus yang aturan hukumnya jelas sehingga
tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret, namun dalam hal peristiwa yang
tidak ada aturan hukumnya hakim harus menemukan dan menggunakan analogi untuk
penemuan hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara menelusuri peraturan yang
mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang hendak dicari
hukumnya dengan jalan argumentasi.
B.
Penegakan Hukum yang Berkeadilan dan menjamin Kepastian Hukum
Secara teoretis terdapat tiga tujuan hukum yaitu
keadilan, kepastian, dan kemanfaatan. Keadilan dapat dikatakan sebagai tujuan
utama yang bersifat universal. Keadilan adalah perekat tatanan kehidupan
bermasyarakat yang beradab.
Hukum diciptakan agar agar setiap individu anggota
masyarakat melakukan sesuatu tidakan yang diperlukan untuk menjaga ikatan
sosial dan mencapai tujuan kehidupan bersama atau sebaliknya agar tidak
melakukan suatu tindakan yang dapat merusak tatanan keadilan. Jika tindakan
yang diperintahkan tidak dilakukan atau suatu larangan dilanggar, tatanan
sosial akan terganggu karena terciderainya keadilan. Untuk mengembalikan tertib
kehidupan bermasyarakat, keadilan harus ditegakkan. Setiap pelanggaran akan
mendapatkan sanksi sesuai dengan tingkat pelanggaran itu sendiri.
Keadilan memang merupakan konsepsi yang abstrak. Namun
demikian di dalam konsep keadilan terkandung makna perlindungan hak, persamaan
derajat dan kedudukan di hadapan hukum, serta asas proporsionalitas antara
kepentingan individu dan kepentingan sosial. Sifat abstrak dari keadilan adalah
karena keadilan tidak selalu dapat dilahirkan dari rasionalitas tetapi juga
ditentukan oleh atmosfir sosial yang dipengaruhi oleh tata nilai dan norma lain
dalam masyarakat. Oleh karena itu keadilan juga memiliki sifat dinamis yang
kadang-kadang tidak dapat diwadahi dalam hukum positif.
Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat
dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari
kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan
tanpa memandang siapa yang melakukan. Dengan adanya kepastian hukum setiap
orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum
tertentu. Kepastian diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan
hukum tanpa diskriminasi.
Namun demikian antara keadilan dan kepastian hukum
dapat saja terjadi gesekan. Kepastian hukum yang menghendaki persamaan di
hadapan hukum tentu lebih cenderung menghendaki hukum yang statis. Apa yang
dikatakan oleh aturan hukum harus dilaksanakan untuk semua kasus yang terjadi.
Tidak demikian halnya dengan keadilan yang memiliki sifat dinamis sehingga
penerapan hukum harus selalu melihat konteks peristiwa dan masyarakat di mana
peristiwa itu terjadi
Dalam praktek penegakan hukum saat ini, rasa keadilan
masyarakat kerap terusik. Keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun
penegakan hukum itu sendiri harus sedekat mungkin dengan keadilan. Sejak lama
para pencari keadilan mendambakan penegakan hukum yang adil. Berbagai putusan
pengadilan sepertinya menggambarkan kekecewaan masyarakat terhadap penegakan
hukum.
Biasanya para penegak hukum telah menjalankan tugasnya
sesuai dengan aturan main yang ada dalam artian aturan main yang formal. Contoh
pada kasus tindak pidana korupsi, sesuai hukum yang berlaku penyidik Polri atau
jaksa sudah melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan ke pengadilan.
Pengacara sudah menjalankan fungsinya untuk membela dan mempertahankan hak-hak
tersangka. Dan hakim sudah mendengar kedua belah pihak, sehingga dikeluarkanlah
putusan pengadilan. Semua aturan hukum yang relevan sudah dipertimbangkan dan
diterapkan. Serta semua formalitas dan tata cara yuridis sudah diikuti
Persoalannya mengapa terhadap penegakan hukum yang
demikian masih saja banyak masyarakat yang tidak puas dan masih saja dikatakan
bahwa penegakan hukum di Indonesia ditengarai sangat rendah dan sudah mencapai
titik nadir. Inilah masalahnya, yakni tidak terpenuhinya nilai keadilan,
terutama keadilan masyarakat. Mimbar pengadilan telah terisolasi dengan
pemahaman makna kepastian hukum saja, tanpa mau membuka diri dan menggali
nilai-nilai keadilan yang ada di masyarakat.
Seorang Filsuf terkenal bernama Socrates yang hidup
pada tahun 469 - 399 SM, filsuf dan kritikus yang paling berpengaruh di Yunani
pernah menyatakan hakekat hukum adalah keadilan. Socrates dalam usahanya
menemukan dan mengajarkan prinsip-prinsip keadilan menyebutkan bahwa keadilan
yang sesungguhnya serta hukum yang benar itu tidak akan ditemui dalam
undang-undang yang dibentuk penguasa-penguasa Negara. Akan tetapi keadilan
bertempat tinggal di dalam diri dan dalam kesadaran manusia itu sendiri.
Selanjutnya Socrates menyebutkan bahwa dalam nurani
tiap insan bersemayamlah keadilan yang hakiki atau sesungguhnya di situ mereka
dapat mendengar bagaimana irama dari degup jantung yang merah, bersih dan suci.
Hanya dengan degupan yang bersih, organ yang suci ini (nurani) menjadi
terlindungi dari kungkungan kabut keserakahan, kelicikan, kecurangan, dan lain
sebagainya.
Sehingga hukum serta perasaan keadilan dalam
pengertian sesungguhnya itu hanya akan ditemukan di dalam nurani tiap-tiap
insan, dan ia akan selalu mendampingi, terutama manakala mereka menetapkan atau
mengambil sebuah keputusan (termasuk keputusan hukum itu sendiri). Apa yang
disampaikan filsuf besar pada masanya tersebut sesungguhnya banyak terjadi
dalam penegakan hukum di Indonesia saat ini.
Penegakan hukum saat ini cenderung lebih menekankan
pada kepastian hukum dibandingkan dengan keadilan. Penerapan hukum lebih
bersifat positif legalistis yaitu cara berhukum berdasarkan pada undang-undang.
Akibat penerapan hukum positif legalistis ini akan menggiring penegakan hukum
pada legisme. Hakim tidak boleh berbuat selain daripada menerapkan
undang-undang secara tegas. Hakim
hanya sekedar terompet undang-undang. Hanya menyuarakan bunyi undang-undang
tanpa mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.
Begitu pentingnya nilai keadilan dalam masyarakat ini
ditegakkan di samping nilai kepastian hukum, haruslah menjamin keadilan dan
kepastian hukum serta bermanfaat. Selain itu penegakan hukum diterapkan tanpa
diskriminasi. Penegakan hukum yang tidak mengindahkan prinsip equality
before the law sehingga menghasilkan perilaku diskriminatif akan
merusak tatanan sistem, sekaligus akan menciderai serta kegagalan dalam
melaksanakan sistem yang menimbulkan citra buruk pada semua kalangan
masyarakat.
Dalam kajian filsafat hukum yang memfokuskan diri pada
hakikat dan cita-cita hukum yaitu bagaimana mencapai keadilan subtantif, pada
kenyataannya makna keadilan saat ini telah terkikis oleh paradigma yang sangat
kaku, hanya melihat sisi keadilan pada ejaan pasal-perpasal dalam mewujudkan
keadilan prosedural. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dalam mencapai
penegakan hukum yang berkeadilan substantif dapat dilakukan dengan menggunakan
pendekatan paradigma hukum progresif.
Apa yang akan penulis ketengahkan sebenarnya bukanlah
sesuatu hal yang baru, berangkat dari pemahaman gagasan brillian Satjipto
Rahardjo yaitu paradigma hukum progresif yang mana lahir sebagai oposisi
keilmuan terhadap paham postivisme hukum.Gagasan ini kemudian muncul
kepermukaan dan menjadi kajian yang sangat menarik ditelaah lebih lanjut. Apa
yang digagas oleh Satjipto Rahardjo ini menawarkan perspektif, spirit, dan cara
baru mengatasi kelumpuhan hukum di Indonesia. Progresif berasal dari kata progress yang
berarti kemajuan.
Hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman,
mampu menjawab perubahan zaman dengan segala dasar di dalamnya, serta mampu
melayani kepentingan masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari
sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri.
Dilihat dari kemunculannya hukum progresif bukanlah
sesuatu yang kebetulan, bukan sesuatu yang lahir tanpa sebab dan juga bukan
sesuatu yang jatuh dari langit. Hukum progresif adalah bagian dari proses
pencarian kebenaran yang tidak pernah berhenti. Hukum progresif yang dapat
dipandang sebagai yang sedang mencari jati diri bertolak dari realitas empirik
tentang bekerjanya hukum di masyarakat berupa ketidakpuasan dan keprihatinan
terhadap kinerja dan kualitas penegakan hukum yang sedang terjadi dewasa ini.
Dalam proses pencariannya itu, Satjipto Rahardjo
kemudian berkesimpulan bahwa salah satu penyebab menurunnya kinerja dan
kualitas penegak hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugasnya sebagai aparat
penegak hukum adalah dominasi terhadap paradigma positivisme dengan sifat
formalitasnya yang melekat pada paham tersebut sehingga mempengaruhi kualitas
dari penegakan hukum.
Dalam kaitannya dengan mencari alternatif nilai
keadilan di tengah-tengah rapuhnya penegakan hukum Indonesia saat ini, menurut
pemahaman penulis dalam rangka menuju suatu keadilan substantif sesuai dengan
paradigma hukum progresif yang pada aktualisasinya selalu percaya diri
dengan prinsip-prinsip kebenaran. Keadilan substantif akan selalu mencerminkan
diri pada kenyataan hukum di masyarakat.
Setidaknya keadilan substantif sesuai dengan hukum
progresif ini secara konseptual harus berdiri atas tiga pemikiran pokok yaitu
pertama menempatkan diri sebagai kekuatan yaitu membebaskan diri
dari tipe, cara berpikir, asas dan teori hukum yang legalistik-dogmatis,
analitis-positivistik dan lebih mengutamakan tujuan daripada prosedural.
Kemudian yang kedua didasarkan pada logika kepatutan sosial dan tidak
semata-mata berdasarkan pada logika peraturan perundang-undangan yang bersifat
normatif. Sehingga dalam hal ini keadilan substantif menurut hukum
progresif dapat menjunjung tinggi moralitas. Hati nurani ditempatkan sebagai
penggerak, pendorong sekaligus pengendali aktivitas penegakan hukum ini.
Dan yang ketiga, paling utama keadilan substantif menurut hukum progresif
banyak bertumpu pada kualitas dan kemampuan sumber daya manusia penegak
hukumnya. Faktor modalitas aparat penegak hukum menjadi amat penting seperti
empati, kejujuran dan keberanian. Faktor-faktor itulah yang harus dikedepankan
daripada hanya sekedar menjalankan peraturan perundang-undangan yang bersifat
normatif secara mekanistis dan prosedural dalam hal mencari kebenaran hakiki
oleh aparat penegak hukum demi mewujudkan penegakan hukum yang memenuhri rasa
keadilan masyarakat.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan-pembahasan pada bab sebelumnya,
maka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. a. Falsafah Keadilan adalah berpikir secara mendalam dan menyeluruh dalam
upaya untuk mencari dan menemukan hakikat kebenaran terhadap sesuatu
permasalahan guna mendapatkan jalan keluar secara rasional dengan menggunakan
hukum sebagai instrumennya untuk mewujudkan keadilan yaitu kondisi dimana
kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu permasalahan yang sedang
dihadapi.
b. Kepastian Hukum
adalah suatu keadaan dimana perilaku manusia baik individu maupun kelompok
dalam masyarakat yang terikat dan berada dalam koridor yang sudah digariskan
dan ditetapkan oleh aturan hukum yaitu peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
c. Penegakan Hukum adalah
upaya melaksanakan dan menerapkan hukum demi mewujudkan keadilan dan menjamin
adanya kepastian hukum yang dilaksanakan oleh aparat penegak hukum terhadap
setiap pelanggaran atau penyimpangan oleh subyak hukum terhadap materi atau
substansi hukum yang tertuang didalam peraturan perundang-undangan sehingga
menciptakan rasa keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan hukum dalam menjaga
ketertiban dalam masyarakat..
2. Penegakan hukum yang berkeadilan dan menjamin
kepastian hukum adalah upaya untuk melaksanakan, menerapkan, mempertahankan dan
menegakan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan
menjunjung tinggi nilai-nilai dan rasa keadilan sebagai tujuan utama hukum
dengan tetap memberikan jaminan adanya kepastian hukum serta manfaat bagi
masyarakat.
B. Saran-Saran
Berdasarkan temuan-temuan hasil pembahasan sebagaimana
telah disimpulkan diatas, maka disarankan :
1. Diharapkan kepada aparat penegak hukum
kiranya dalam melaksanakan penegakan hukum lebih mengedepankan tujuan utama
hukum yaitu keadilan dengan tetap menjamin adanya kepastian hukum dan
kemanfaatan hukum bagi masyarakat.
2. Kiranya aparat penegak hukum untuk
lebih memahami secara mendalam dan menyeluruh tentang hakikat dan tujuan hukum
sehingga tidak mudah terjebak dalam paradigma positivisme yang hanya bertolak
kepada aturan perundang-undangan yang berlaku mengingat begitu pesatnya
perkembangan kehidupan sosial masyarakat sehingga membutuhkan adanya
penemuan-penemuan hukum yang baru dalam memenuhi kebutuhan masyarakat terhadap
hukum.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Carl Joachim Friedrich,
2004, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Nuansa dan
Nusamedia, Bandung.
Jan Remmelink,
2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia, PT Gramedia Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2009, Menuju
Negara Hukum yang Demokrasi, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.
John Rawls, A
Theory of Justice, London, Oxford University Press, 1973, terjemahan
dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, 2006, Teori
Keadilan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Muh. Muslehuddin,
1991, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi Perbandingan
Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana.
M. Karfawi, 1987, Asas
Legalitas dalam usul Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-masalahnya, Jurnal
Arena Hukum.
M. Karjadi dan
R.Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana,
Politea, Bogor.
Moeljatno, 2000, Asas-asas
Hukum Pidana, Rieneka Cipta, Cetakan Ketujuh
R. Soesilo, 1988, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana, Politea, Bogor
Roelof. H. Heveman, 2002, The legality of Adat
Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta
Sofyan Sastrawidjaja,
1995, Hukum Pidana : Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan
Pidana, Armica, Bandung.
Theo Huijbers,
1995, Filsafat Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII,
Kanisius, Yogyakarta
W. Friedman, 1998, Teori-teori Filsafat Hukum, Kanisius,
Yogyakarta.
[1] Theo Huijbers, Filsafat
Hukum dalam lintasa sejarah, cet VIII, Yogyakarta, Kanisius, 1995 hal
196
[2] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum
Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan Nusamedia, 2004 hlm 24
[6] John Rawls, A Theory of Justice, London,
Oxford University Press, 1973, terjemahan dalam Bahasa Indonesia oleh Uzair
Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka
Pelajar, 2006
[7] Soetandyo Wignjosoebroto, Positivisme dan
Doktrin Positivisme dalam Ilmu Hukum dan Kritik-kritik terhadap Doktrin Ini,Jakarta,
2007, hlm 1-2.
[9] Ade Maman Suherma, Pengantar Perbandingan
Sistem Hukum, Civil Law, Common Law, Hukum Islam, Cet 2, Raja Grafindo
Persada, 2006, hlm 37
[11] Muh. Muslehuddin, Filsafat
Hukum Islam dan Pemikiran Orientasi, Studi Perbandingan Sistem Hukum
Islam, Tiara Wacana, 1991, hlm 29.
[16] Lihat M, Karfawi, Asas Legalitas dalam usul
Rancangan KUHP (Baru) dan Masalah-masalahnya, Jurnal Arena Hukum,
1987, hlm 9-15
[18] Lihat Roelof. H. Heveman, The
legality of Adat Criminal Law in Modern Indonesia, Tata Nusa, Jakarta,
2002, hlm 50
[19] Dalam Rancangan KUHP tidak lagi dikenal dengan sebutan
pelanggaran dan kejahtan, kedua istilah ini disebut dalam satu istilah tindak
pidana
[20] Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar Atas
Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan
Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, PT
Gramedia Jakarta, 2003, hlm 358
[22] Lihat Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana :
Asas Hukum Pidana Sampai pada Peniadaan Pidana, Armica, Bandung, 1995,
hlm 67
[27] Jimly Asshidiqie, Menuju Negara Hukum yang
Demokrasi, PT. Bhuana
Ilmu Populer, Jakarta, 2009, Hlm 22
0 komentar:
Posting Komentar