Blogger templates

Sabtu, 30 Mei 2015

Ketidakadilan: Sisi Lain Negara Hukum


Dengan sadar saya menyebut ketidakadilan sebagai sisi lain atau fakta yang akan selalu ada dalam sebuah negara hukum, sekalipun negara tersebut (misalnya Indonesia) menganggap hukum sebagai penjamin penegakan/pencapaian keadilan. Tentu saja, saya tak bermaksud menegasi nilai-nilai positif dari sebuah negara hukum atau negara yang menganut hukum positif. Saya hanya bermaksud mengajak kita untuk sedikit menyadari sisi lain yang acapkali menghantui proses penegakan keadilan dalam sebuah negara hukum.
Pada dasarnya, hukum bertujuan mencapai keadilan. Negara yang menganut hukum positif menyerahkan tanggung jawab pencapaian keadilan itu pada undang-undang, norma-norma hukum. Hukum positif dianggap sebagai penjamin keadilan. Karena itu pula, vonis yang dijatuhkan oleh hakim terhadap setiap perkara tergantung pada pertimbangan fakta-fakta hukum. Fakta-fakta hukum menjadi kekuatan untuk menentukan, mana yang adil dan mana yang tidak adil.
Cita-cita menetapkan keadilah berdasarkan hukum postif ada untungnya, tapi juga ada ruginya. Keuntungannya, kita memiliki kepastian hukum. Ada patokan-patokan yang menjadi pegangan bagi seorang hakim untuk memutuskan sebuah perkara. Namun, ruginya, hukum positif juga mengabaikan pertimbangan-pertimbangan lain yang dianggap tak masuk dalam kategori bukti-bukti hukum.
Banyak kasus di negara kita tercinta, INDONESIA, yang memperlihatkan hal ini. Bahwa hukum yang seharusnya menjamin keadilan, ternyata dirasa tidak mendukung penegakkan keadilan itu. Inilah kiranya tantangan sebuah negara hukum.
Contoh: Kasus AAL dan “Xenia Maut”
Saya mengambil dua contoh kasus, sebagai “jalan masuk” menuju inti persoalan. Kita tentu masih ingat kasus pencurian sandal jepit dengan pelaku AAL, seorang siswa SMK yang kemudian diadili di PN Palu, Sulawesi Tengah. Prosesnya berlarut-larut sehingga menyita perhatian media nasional dan internasional.
Dalam kasus ini, publik berharap, masalahnya bisa diselesaikan dengan cepat, karena toh kasusnya bisa dibilang kasus kecil. AAL dilaporkan oleh seorang polisi karena mencuri sandal bekas seharga Rp. 35.000 milik polisi bersangkutan. Namun, karena dibawa ke meja hijau, maka proses hukumnya jadi rumit.
Kasus lain, memori kita juga masih akrab dengan peristiwa “Xenia Maut” Minggu, 22/1 siang di Tugu Tani, Jakarta, ketika Afriyani cs, pengemudi mobil Daihatsu Xenia menabrak 9 orang warga hingga tewas.
Semua orang marah, apalagi keluarga korban kepada pelaku tabrakan itu. Tambah lagi, Afriyani cs tampaknya tak memperlihatkan penyesalan. Hampir semua masyarakat menghendaki hukuman yang berat, apalagi kita ketahui Afriyani cs adalah pemakai obat terlarang.
Apa yang kemudian terjadi? Beberapa hari lalu, saya menyempatkan diri menonton acara di TVOne yang membahas tragedi “Xenia Maut” ini. Sejauh yang saya dengar dari seorang pakar hukum pidana, salah satu narasumber, bila melihat kasusnya, pelaku tabrakan itu akan dikenai hukuman penjara maksimal 6 tahun. Mendengar pendapat demikian, spontan saja ayah salah satu korban tabrakan itu yang juga diundang oleh TVOne menjadi marah. Ia bahkan berkata tegas, ”Anak saya bukan binatang. Mengapa hukumannya sangat ringan?”
Keinginan ayah korban itu untuk menghukum pelaku dengan hukuman berat tidak akan tercapai karena berbeturan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang. Jadi, meski peristiwa tabrakan itu dianggap keterlaluan oleh mayoritas masyarakat, terutama keluarga korban, namun hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tidak akan terlalu berat, dengan pertimbangan bahwa sang pelaku sedang berada dalam pengaruh obat-obat terlarang.
Hal yang sama juga terjadi dalam banyak kasus korupsi di negeri ini. Meski publik berharap, para koruptor mendapat hukuman berat, tapi hal itu tidak akan terjadi bila tidak didukung oleh fakta-fakta hukum yang kuat.
Cermati saja kasus yang sedang menimpah Nazaruddin. Meski Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, serta beberapa nama lain seperti Angelina Sondakh disebut-sebut sebagai pelaku korupsi kelas kakap, namun mereka tidak akan bisa dibawah ke meja hijau, bila fakta-fakta hukum yang mendukung tidak kuat untuk memvonis mereka.
Lantas, mungkinkah keadilan yang sesungguhnya itu sebagai cita-cita yang mau diraih oleh sebuah negara hukum bisa tercapai? Apa yang mungkin bisa dilakukan? Apa yang dibutuhkan agar hukum selain bisa menghasilkan keputusan yang adil tetapi juga bisa mengakomodasi tuntutan lain di luar fakta-fakta hukum, misalnya saja rasa keadilan bagi pihak korban seperti dalam kasus “Xenia Maut” atau dalam proses penyelesaian kasus-kasus korupsi.
Dekonstruksi
Filsuf postmodernisme, Jacques Derrida (1930-2004) membantu kita untuk membaca fenomena seperti ini. Ia mengatakan, penegak hukum hanya membutuhkan informasi-informasi yang menyangkut bukti hukum untuk mencari keadilan. Keadilan bagi mereka haruslah sesui dengan aturan dan pasal-pasal dalam hukum. Itulah yang kini terjadi dan dipraktekkan di Indonesia. Jadi, keadilan hanya dapat ditemukan dalam hukum.
Menurut Derrida, tentu saja apa yang diyakini sebagai keadilan oleh penegak hukum tidaklah identik dengan keadilan yang sesungguhnya. Keadilan yang sesungguhnya tidak identik dengan keputusan-keputusan hukum. Keputusan di pengadilan paling banter dapat dikatakan legal. Apa yang dikatakan legal belum tentu disebut adil.
Dalam hal ini, keputusan pengadilan bisa saja salah. Masih ada kemungkinan lain mencari keadilan. Bagi Derrida, keadilan bisa ditelusuri di luar tatanan dan melampaui hukum positif. Keadilan dalam arti sesungguhnya dapat tercapai hanya jika penegak hukum mengambil jarak terhadap pasal-pasal, melakukan tafsiran terus-menerus terhadap bunyi pasal-pasal itu, seolah-olah dia belum berhubungan dengan pasal itu sebelumnya. Artinya, butuh kempetensi lebih penegak hukum untuk kreatif dan selalu berupaya menemukan makna baru.
Mengapa mereka dituntut untuk tak hanya mengikuti pasal-pasal? Jawabannya sederhana. Pasal-pasal itu bukan doktrin yang harus dipatuhi, minus berpikir, refleksi dan interpretasi.
Dalam konteks inilah, keadilan, demikian Derrida, adalah sebuah dekonstruksi. Dekonstruksi adalah upaya membaca teks hukum secara radikal agar muncul pemaknaan baru dalam memutuskan sebuah kasus hukum.
Yang terjadi kini di Indonesia adalah tak ada ruang bagi dekonstruksi itu. Maka yang mengkorupsi uang bermiliaran rupiah, tak akan diberi hukuman yang pantas, meski publik mengharapkan itu, bila tak didukung oleh fakta-fakta hukum yang kuat. Penegak hukum hanya berpatokan pada ketentuan undang-undang, tanpa berupaya menginterpretasikan pasa-pasal itu.
Dan, persis, di sinilah hukum menjadi sumber ketidakadilan bagi masyarakat yang tak terlalu tahu bagaimana harus menjawab tuntutan hukum bagi mereka. Akibatnya, meski kesalahan mereka tak seberapa, tapi hukumannya berat. Berbeda dengan para koruptor yang bisa menyewa pengacara dengan uang bermiliaran rupiah, demi bebas dari jeratan hukum. Di sini, jelas, hukum yang de iure diharapakan menjamin keadilan, malahan melahirkan ketidakadilan.
Yang dibutuhkan sekarang, sekali lagi, kompetensi penegak hukum sehingga tidak hanya berkaca pada fakta-fakta berkekuatan hukum, tapi juga pada faktor lain di luar tatanan hukum itu, yang bisa mendukung terpenuhinya rasa keadilan.
Kalaupun keadilan yang sesungguhnya itu tidak mungkin tercapai, minimal keputusan-keputusan yang dihasilkan tidak melukai rasa keadilan. Paling sederhana, masyarakat kecil yang mencuri pisang di kebun tetangga, hukumannya tak boleh sama dengan pejabat yang mengkorupsi uang rakyat milyaran rupiah. Maka, butuh kompetensi yang dipadu kecermatan budi serta kejernian nurani penegak hukum untuk mewujudkan keadilan itu.***


oleh Ryan Dagur pada 4 Februari 2012 pukul 6:50 ·

0 komentar:

Posting Komentar